makalah myopia

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam menentukan kualitas hidup manusia. Indera penglihatan yang dimaksud adalah mata. Tanpa mata, manusia mungkin tidak dapat melihat sama sekali apa yang ada disekitarnya. Dalam penglihatan, mata mempunyai berbagai macam kelainan refraksi. Kelainan refraksi tersebut antara lain seperti emetropia, miopia, ametropia, presbiopia, hipermetropia, dan afakia. Kelainan refraksi merupakan gangguan yang banyak terjadi di dunia tanpa memandang jenis kelamin, usia, maupun kelompok etnis. Salah satu kelainan refraksi yang sudah dikenal saat ini adalah miopia, dimana pada waktu otot siliaris relaksasi (tidak berakomodasi), cahaya dari obyek jauh difokuskan di depan retina. Miopia atau sering disebut sebagai rabun jauh merupakan jenis kerusakan mata yang disebabkan pertumbuhan bola mata yang terlalu panjang atau kelengkungan kornea yang terlalu cekung (Sidarta, 2007).
Angka kejadian miopia didunia terus meningkat, dan diestimasikan bahwa separuh dari penduduk dunia menderita miopia pada tahun 2020 (WHO, 2008). Prevalensi miopia di Amerika Serikat dan Eropa adalah kira-kira 30-40% daripada jumlah penduduk data WHO menunjukkan angka kejadian 10% dari 66 juta anak usia sekolah menderita kelainan refraksi yaitu miopia. Puncak terjadinya miopia adalah pada usia remaja yaitu pada tingkat SMA dan miopia paling sering banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki, dengan perbandingan perempuan terhadap laki-laki 1,4 : 1. Perbandingan serupa pada miopia tinggi adalah 3,5: 1. Sebanyak 30% penderita miopia berasal dari keluarga dengan golonganekonomi menengah ke atas.
Di Indonesia, prevalensi miopia mencapai 26,1%. Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian miopia antara lain genetik, jenis kelamin, suku, aktivitas melihat dekat meliputi waktu yang dihabiskan untuk membaca, penggunaan komputer, menonton televisi dan bermain TV game, serta lamanya pajanan terhadap cahaya. Faktor genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan miopia. Adanya paling tidak salah satu orang tua yang menderita miopia secara signifikan lebih tinggi pada anak penderita miopia dibandingkan dengan anak non-miopia (45,5% vs 17,8%). Kejadian miopia pada tingkat pendidikan pun berbeda. Berdasarkan penelitian pada siswa SD di Jakarta, didapatkan bahwa prevalensi miopia untuk siswa kelas tiga adalah 21,74% sedanggkan untuk siswa kelas enam adalah 30%. Di Indonesia terutama anak-anak remaja yang golongan ekonomi keluarganya menengah keatas mempunyai angka kejadian miopia yang semakin meningkat. Faktor gaya hidup mendukung tingginya akses anak terhadap mediavisual yang ada. Hampir seluruh murid di sekolah manapun di Indonesia rata-rata mempunyai faktor-faktor yang menyebabkan miopia, televisi (94,5%), video game (39,4%), dan komputer (15,7%). Tingginya akses terhadap media visual ini apabila tidak diimbangi dengan pengawasan terhadap perilaku buruk, seperti jarak lihat yang terlalu dekat serta istirahat yang kurang, tentunya dapat meningkatkan terjadinya miopia yang jika tidak dilakukan pengobatan yang tepat ini akan menyebabkan kebutaan, (Saw, 2003).
Sementara itu berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan angka kebutaan yang disebabkan miopia di provinsi Jambi sebesar 0,4% dari 0,9 % seluruh indonesia. Miopia sering dijumpai dengan angka yang tinggi pada anak-anak remaja dengan golongan ekonomi keluarganya menengah keatas. Hal yang banyak  berpengaruh  dalam  perkembangan miopia adalah aktivitas melihat dekat, adanya kemajuan teknologi dan telekomunikasi, seperti televisi, komputer, video game, dan lain-lain, secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan aktivitas melihat dekat.
Dampak lanjut dari miopia jika tidak segera diobati dapat menyebabkan ablasio retina, vitreal liquefaction dan detachment (pada tahap awal, penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil / floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya akan menimbulkan risiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata. Selain itu dapat terjadi miopik makulopatik dimana dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapangan pandang berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa menyebabkan berkurangnya lapangan pandang. Miopi vaskular koroid atau degenerasi makular miopia juga merupakan konsekuensi dari degenerasi makular normal dan ini disebabkan oleh pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh di bawah sentral retina, glaukoma dapat terjadi pada miopia sedang sekitar 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%, glaukoma pada miopia terjadi dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat penyambung pada trabekula, selain itu katarak  juga dapat terjadi dimana lensa pada miopia kehilangan transparansi. Dilaporkan bahwa pada orang dengan miopia, onset katarak muncul lebih cepat (Sidarta, 2003).
Sebagai seorang perawat perlu  memberikan asuhan keperawatan kepada pasien miopia yang dikoreksi dengan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.00 dioptri memberikan tajam penglihatan 6/6, demikian juga bila diberi sferis -3.25 dioptri, maka sebaiknya diberikan koreksi -3.00 dioptri agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik setelah dikoreksi (Sidarta, 2007)
Berdasarkan masalah diatas dan kemungkinan komplikasi atau dampak lanjut dari miopia jika tidak segera diobati maka penulis tertarik mengangkat masalah dan membahas tentang asuhan keperawatan pada miopia agar dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang tentunya dapat bermanfaat dalam praktik langsung dilapangan nantinya disamping ini menjadi kewajiban kami sebagai mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran terutama pada blok sistem persepsi sensori.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas kami tertarik untuk membahas bagaimana asuhan keperawatan pada Tn. A dengan miopia di Poly THT RSUD Raden Mattaher Jambi

C.    Tujuan Penulisan
1.    Tujuan Umum
Mengetahui gambaran secara umum tentang asuhan keperawatan pada klien dengan miopia

2.    Tujuan khusus
a.    Mahasiswa dapat memahami defenisi, etiologi, faktor resiko serta manifestasi dari miopia dan penatalaksanaannya
b.    Mahasiswa dapat melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. A dengan kasus  miopia di RSUD Raden Matther Jambi 2014
c.    Mahasiswa mampu mengelompokkan data sesuai dengan tanda dan gejala pada Tn. A dengan kasus  miopia di RSUD Raden Matther Jambi 2014
d.   Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan dalam asuhan keperawatan Tn. A dengan kasus  miopia di RSUD Raden Matther Jambi 2014
e.    Mahasiswa mampu membuat perencanaan dalam asuhan keperawatan Tn. A dengan kasus  miopia di RSUD Raden Matther Jambi 2014
f.     Mahasiswa mampu melakukan implementasi dalam asuhan keperawatan Tn. A dengan kasus  miopia di RSUD Raden Matther Jambi 2014
g.    Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan Tn. A dengan kasus  miopia di RSUD Raden Matther Jambi 2014
h.    Mahasiswa mampu membuat dokumentasi terhadap asuhan keperawatan pada Tn. A dengan kasuan miopia di RSUD Raden Mattaher Jambi 2014

D.    Manfaat
1.    Manfaat bagi Mahasiswa
Untuk memberikan informasi kepada mahasiswa tentang miopia, sehingga kita semua menyadari akan pentingnya untuk menjaga kesehatan agar tidak menderita miopia. Selain itu juga dengan makalah ini dapat memberikan tambahan pengetahuan terutama asuhan keperawatan pada klien dengan miopia sehingga dapat membantu mahasiswa dalam praktek langsung dilapangan nantinya

2.    Manfaat bagi Akademik
Dapat memberikan tambahan sumber referensi mengenai asuhan kepeawatan pada klien dengan miopia














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Anatomi dan fisiologi mata
Mata merupakan organ indra rumit, mata disusun atas bercak sensitif dan cahaya primitif pada permukaan interverbtebra. Tanpa mata dengan bagian bagian mata yang sehat, kita tidak bisa melakukan proses penglihatan. Selain itu, gangguan pada fungsi mata juga akan terjadi di dalam kegelapan, karena mata tidak bisa melihat sebab tidak adanya cahaya yang masuk ke mata, (Syaifuddin, 2011)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4Z1i2ULbbvO35CpTsQh1PgVL5bSvaxmaFjnJ1laH7GI0yiCRQdvLFakggtrsMjYHpi4rpZsjycOq2nOHvisVF3F39PgEgB834q0ZDHHtYdovA6T0lh-tb5OXhEAcJTOadncs7FnnH9W0/s1600/url.jpeg
Gambar 2.1 : Anatomi mata

1.    Kornea 
Lapisan bagian paling luar mata ini, bersifat kuat dan tembus terhadap cahaya. Bagian kornea mata menerima fungsi untuk menerima, dan kemudian meneruskan cahaya yang masuk ke mata, dan juga melindungi anatomi mata yang bersifat lebih sensitif di dalamnya (Syaifuddin, 2011)
2.    Aqueous humor
Bagian yang merupakan cairan kornea dan lensa mata, memiliki fungsi untuk melakukan pembiasan terhadap cahaya yang masuk kedalam mata
3.    Lensa
Lensa mata melakukan peran penting dalam mengatur letak bayangan objek, agar tepat jatuh pada bintik kuning. Lensa mata berfungsi dalam memfokuskan obyek sehingga jika terdapat gangguan mata silindermisalnya, hal ini terjadi karena terdapat kelainan yang terjadi pada lensa mata
4.    Iris
Anatomi mata yang berbentuk mata yang membentuk celah lingkaran mata di tengah-tengahnya. Warna pada mata ini dipengaruhi oleh iris yang mengatur jumlah cahaya yang masuk pada mata dan terletak pada tengah-tengah bola mata
5.    Pupil 
Yakni sebuah celah yang terbentuk karena cahaya yang masuk melalui iris, sehingga pupil ini melakukan pengaturan terhadap banyak dan sedikitnya cahaya yang masuk ke dalam mata. Pupil berada di tengah iris dan mengecil atau membesar untuk menyesuaikan cahaya


6.    Vitreus humor 
Berbentuk cairan bening yang terisi pada rongga mata, yakni memiliki fungsi untuk meneruskan cahaya dari lensa ke retina. Kelainan pada bagian ini dapat menyebabkan penyakit glaukoma yang sering sebabkan kebutaan
7.    Retina
Retina merupakan bagian dinding belakang bola mata, yang merupakan tempat bayangan dibentuk. Retina atau selaput jala adalah bagian mata yang peka terhadap cahaya. Kemudian retina inilah yang berfungsi menangkap dan meneruskan cahaya dari lensa hingga ke saraf mata. Pada ujung ujung syaraf inilah yang menerima cahaya (Syaifuddin, 2011)
Retina mengubah bayangan cahaya menjadi impuls listrik saraf yang dikirim ke otak. Penyerapan suatu foton cahaya oleh sebuah fotoreseptor menimbulkan suatu reaksi fotokimia di fotoreseptor yang melalui suatu cara akan memicu timbulnya sinyal listrik ke otak, yang disebut suatu potensial aksi. Foton harus di atas energy minimum untuk dapat menimbulkan reaksi.
Ada 2 tipe umum reseptor cahaya di retina, yaitu :
a.    Sel Kerucut
1)   Jumlahnya sekitar 6,5 juta di masing-masing mata
2)   Digunakan untuk penglihatan siang hari (fotopik)
3)   Berguna untuk melihat detail halus dan mengenali beragam warna
4)   Tersebar di seluruh retina, terutama di fovea sentralis
5)   Memiliki sensitivitas maksimum di panjang gelombang sekitar 550 nm pada region kuning hijau

b.    Sel Batang
1)   Jumlahnya sekitar 120 juta di masing-masing mata
2)   Digunakan untuk penglihatan malam hari (skotopik)
3)   Berguna untuk penglihatan perifer
4)   Tidak tersebar merata di retina namun memiliki kepadatan maksimum di sudut sekitar 20̊
5)   Memiliki sensitivitas maksimum di panjang gelombang sekitar 510 nm pada region biru-hijau
8.    Bintik kuning 
Berbentuk seperti melengkung pada badan retina dan merupakan bagian paling peka pada retina
9.    Syaraf optik
Befungsi untuk meneruskan rangsangan cahaya yang diterima retina ke bagian otak. Saraf optik atau syaraf mata ini akan menerima semua informasi yang akan nantinya diproses di otak, dengan demikian kita bisa melihat suatu objek

Kepekaan dan ketajaman mata, ada tiga macam ukuran kepekaan / ketajaman mata, yaitu :
1.    Ambang kuantum
Ambang kuantum merupakan jumlah minimum foton yang diperlukan untuk merangsang sebuah tanggapan sensor. Ambang kuantum ini berperan untuk menentukan ketajaman penglihatan seseorang di tempat gelap – seseorang dengan ambang kuantum yang baik, akan memiliki penglihatan yang lebih baik di tempat gelap, artinya dengan sedikit foton saja sudah mampu mengaktifkan sensor optikus (sel batang dan kerucut)
2.    Ambang penerangan
3.    Ambang penerangan merupakan ukuran kepekaan relatif mata terhadap cahaya dengan aneka macam panjang gelombang. Penglihatan untuk adaptasi gelap disebut skotopik dan terang disebut fotopik
4.    Ketajaman
Ketajaman yang dimaksud merupakan ukuran ketajaman penglihatan dan diukur dengan pemisahan sudut minimum terhadap dua buah objek dan bukan satu. Batas terendah teoritis untuk resolusi dua buah titik cahaya adalah sebesar 0,1 mrad, sedangkan pada kenyataannya, dengan penglihatan paling tajam dan kondisi yang optimum manusia dapat memisahkan sudut pemisahan sekitar 0,2 mrad

B.     Definisi
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina (bintik kuning). Pada miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan terletak di depan makula lutea. Hal ini dapat disebabkan sistem optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola mata terlalu panjang Miopia atau sering disebut sebagai rabun jauh merupakan jenis kerusakan mata yang disebabkan pertumbuhan bola mata yang terlalu panjang atau kelengkungan kornea yang terlalu cekung (Sidarta, 2007).

C.    Etiologi
Menurut Ilyas sidharta, 2007 ada beberapa faktor penyebab Miopi diantaranya
1.    Bola mata panjang pada posterior anterior axialis
2.    Lensa membesar pada katarak stadium II
3.    Cornea lebih cembung dari pada normal disebut miopia carvatur
4.    Pada penderita DM dimana corpus vitreus mengandung kadar gula tinggi

Berikut ini adalah hal-hal umum yang bisa menyebabkan mata minus :
1.    Jarak terlalu dekat membaca buku, menonton televisi, bermain video games, main komputer, main handphone dan lain-lain. Mata yang dipaksakan dapat merusak mata. Pelajari jarak aman aktivitas mata kita agar selalu terjaga kenormalannya.
2.    Terlalu lama beraktifitas pada jarak pandang yang sama seperti bekerja didepan komputer, di depan layar monitor, di depan mesin, di depan berkas, dan lain-lain. Mata butuh istirahat yang teratur dan sering agar tidak terus berkontraksi yang monoton
3.    Tinggal di tempat yang sempit penuh sesak karena mata kurang berkontraksi melihat yang jauh-jauh sehingga otot mata jadi tidak normal. Atur sedemikian rupa ruang rumah kita agar kita selalu bisa melihat jarak pandang yang jauh
4.    Kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan mata kita seperti membaca sambil tidur-tiduran, membaca di tempat yang gelap, membaca dibawah sinar matahari langsung yang silau, menatap sumber cahaya terang langsung, dan lain sebagainya
5.    Terlalu lama mata berada di balik media transparan yang tidak cocok untuk mata dapat mengganggu kesehatan mata seperti sering kelamaan memakai helm, lama memakai kacamata yang tidak sesuai dengan mata normal kita, dan sebagainya
6.    Kekurangan gizi yang dibutuhkan mata juga bisa memperlemah mata sehingga kurang mampu bekerja keras dan mudah untuk terkena rabun jika mata bekerja terlalu diporsir. Vitamin A, betakaroten, ekstrak billberry,alpukat, dan lain sebagainya bagus untuk mata

D.    Klasifikasi
Menurut Ilyas Sidarta, 2007, secara klinis dan berdasarkan kelainan patologi yang terjadi pada mata, miopia dapat dibagi kepada dua yaitu :
1.    Miopia Simpleks : Terjadinya kelainan fundus ringan. Kelainan fundus yang ringan ini berupa kresen miopia yang ringan dan berkembang sangat lambat. Biasanya tidak terjadi kelainan organik dan dengan koreksi yang sesuai bisa mencapai tajam penglihatan yang normal. Berat kelainan refraksi yang terjadi biasanya kurang dari -6D. Keadaan ini disebut juga dengan miopia fisiologi
2.    Miopia Patologis : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia maligna atau miopia progresif. Keadaan ini dapat ditemukan pada semua umur dan terjadi sejak lahir. Tanda-tanda miopia maligna adalah adanya progresifitas kelainan fundus yang khas pada pemeriksaan oftalmoskopik. Pada anak-anak diagnosis ini sudah dapat dibuat jika terdapat peningkatan tingkat keparahan miopia dengan waktu yang relatif pendek. Kelainan refrasi yang terdapat pada miopia patologik biasanya melebihi -6 D  

Menurut American Optometric Association (2006), miopia secara klinis dapat terbagi lima yaitu:
1.    Miopia Simpleks : Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa kristalina yang terlalu tinggi
2.    Miopia Nokturnal : Miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di sekeliling kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh mata seseorang bervariasi terhadap tahap pencahayaan yang ada. Miopia ini dipercaya penyebabnya adalah pupil yang membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak cahaya, sehingga menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia
3.    Pseudomiopia : Diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot – otot siliar yang memegang lensa kristalina. Di Indonesia, disebut dengan miopia palsu, karena memang sifat miopia ini hanya sementara sampai kekejangan akomodasinya dapat direlaksasikan. Untuk kasus ini, tidak boleh buru – buru memberikan lensa koreksi
4.    Miopia Degeneretif : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia maligna atau miopia progresif. Biasanya merupakan miopia derajat tinggi dan tajam penglihatannya juga di bawah normal meskipun telah mendapat koreksi. Miopia jenis ini bertambah buruk dari waktu ke waktu
5.    Miopia Induksi : Miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obat – obatan, naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa dan sebagainya.

Klasifikasi miopia berdasarkan ukuran dioptri lensa yang dibutuhkan untuk mengkoreksikannya (Sidarta, 2007):
1.    Ringan : lensa koreksinya 0,25 s/d 3,00 Dioptri
2.    Sedang : lensa koreksinya 3,25 s/d 6,00 Dioptri
3.    Berat :lensa koreksinya > 6,00 Dioptri

Klasifikasi miopia berdasarkan umur adalah (Sidarta, 2007):
1.    Kongenital : sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak
2.    Miopia onset anak-anak : di bawah umur 20 tahun
3.    Miopia onset awal dewasa : di antara umur 20 sampai 40 tahun
4.    Miopia onset dewasa : di atas umur 40 tahun (> 40 tahun)

E.     Patofisiologi
Miopia dapat terjadi karena ukuran sumbu bola mata yang relatif panjang dan disebut sebagai miopia aksial. Dapat juga karena indeks bias media refraktif yang tinggi atau akibat indeks refraksi kornea dan lensa yang terlalu kuat. Dalam hal ini disebut sebagai miopia refraktif. Miopia degeneratif atau miopia maligna biasanya apabila miopia lebih dari 6 dioptri (D) disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi retina terjadi kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atropi lapis sensoris retina luar dan dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf optik (Sidarta, 2007).
Terjadinya perpanjangan sumbu yang berlebihan pada miopia patologi masih belum diketahui. Sama halnya terhadap hubungan antara elongasia dan komplikasi penyakit ini, seperti degenerasi chorioretina, ablasio retina dan glaukoma. Columbre melakukan penelitian tentang penilaian perkembangan mata anak ayam yang di dalam pertumbuhan normalnya, tekanan intraokular meluas ke rongga mata dimana sklera berfungsi sebagai penahannya. Jika kekuatan yangberlawanan ini merupakan penentu pertumbuhan okular postnatal pada mata manusia, dan tidak ada bukti yang menentangnya maka dapat pula disimpulkandua mekanisme patogenesis terhadap elongasi berlebihan pada miopia. Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini, dimana pembuangan sebagian masenkim sklera dari perkembangan ayam menyebabkan ektasia daerah ini, karena perubahan tekanan dinding okular. Dalam keadaan normal sklera posterior merupakan jaringan terakhir yang berkembang. Keterlambatan pertumbuhan strategis ini menyebabkan kongenital ektasia pada area ini. Sklera normal terdiri dari pita luas padat dari kumpulan serat kolagen, hal ini terintegrasi baik, terjalin bebas, ukuran bervariasi tergantung pada lokasinya. Kumpulan serat terkecil terlihat menuju sklera bagian dalam dan pada zona ora ekuatorial. Bidang sklera anterior merupakan area potong lintang yang kurang dapat diperluas perunitnya dari pada bidang lain. Pada test bidang ini ditekan sampai 7,5 g/mm2. Tekanan intraokular equivalen 100 mmHg, pada batas terendah dari stress ekstensi pada sklera posterior ditemukan empat kali daripada bidang anterior dan equator. Pada batas lebih tinggi sklera posterior kira-kira dua kali lebih diperluas.Perbedaan tekanan diantara bidang sklera normal tampak berhubungan dengan hilangnya luasnya serat sudut jala yang terlihat pada sklera posterior. Struktur serat kolagen abnormal terlihat pada kulit pasien dengan Ehlers-Danlos yang merupakan penyakit kalogen sistematik yang berhubungan dengan miopia.  Vogt awalnya memperluas konsep bahwa miopia adalah hasil ketidakharmonian pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang berlebihan dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid maupun sklera menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti ulang dalam hubungannya dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera dibawah pengaruh epitel pigmen retina. Pandangan baru ini menyatakan bahwa epitel pigmen abnormal menginduksi pembentukan koroid dan sklera subnormal. Hal ini yang mungkin menimbulkan defek ektodermal–mesodermal umum pada segmen posterior terutama zona oraekuatorial atau satu yang terlokalisir pada daerah tertentu dari posterior mata, dimana dapat dilihat pada miopia patologis (tipe stafiloma posterior). Meningkatnya suatu kekuatan yang luas terhadap tekanan intraokular basal. Contoh klasik miopia skunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat pada glaukoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada peningkatan pemanjangan sumbu bola mata (Sativa, 2003).
Secara anatomi dan fisiologi, sklera memberikan berbagai respons terhadap induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada stres. Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular 10 mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Pada valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular 60 mmHg. Juga pada penutupan paksa kelopak mata meningkat sampai 70-110 mmHg. Gosokan paksa pada mata merupakan kebiasaan jelek yang sangat sering diantara mata miopia, sehingga dapat meningkatkan tekanan intraokular. Untuk melihat sesuatu objek dengan jelas, mata perlu berakomodasi. Akomodasi berlaku apabila kita melihat objek dalam jarak jauh atau terlalu dekat. Menurut Dr. Hemlholtz, otot siliari mata melakukan akomodasi mata. Teori Helmholtz mengatakan akomodasi adalah akibat daripada ekspansi dan kontraksi lensa, hasil daripada kontraksi otot siliari, (Sidarta, 2007)

F.     Tanda dan Gejala Miopia
Pasien miopi mempunyai pangtum remotum (titik terjauh yang masih dilihatjelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan telihat juling ke dalam atau esotropia (Sidarta, 2003).
Gejala  miopi terbagi menjadi dua yaitu :
1.    Gejala subjektif :
a.    Akibat sinar dari suatu objek jauh difokuskan di depan retina, maka penderita miopia hanya dapat melihat jelas pada waktu melihat dekat, sedangkan pengglihatan jauh akan kabur
b.    Keluhan astenopia, seperti sakit kepala yang dengan sedikit koreksi dari miopinya dapat disembuhkan
c.    Kecendrungan penderita untuk menyipitkan mata waktu melihat jauh untuk mendapatkan efek “pinhole” agar dapat melihat dengan lebih jelas
d.   Penderita miopia biasanya suka membaca dekat, sebab mudah melakukannya tanpa usaha
2.    Gejala objektif :
a.    Miopi simplex : Pada segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang relatif lebar. Kadang-kadang bola mata ditemukan agak menonjol
b.    Pada segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang normal atau dapat disertai kresen miopi yang ringan disekitar papil saraf optik

G.    Diagnosis Miopia
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat malahan melihat terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh. Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan memicingkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek lubang kecil. Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esoptropia. Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus mata miopia, yang terdapat pada daerah papil saraf optik akibat tidak tertutupnya sklera oleh koroid. Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi makula dan degenerasi retina bagian perifer ( Sidarta, 2007).
Pengujian atau test yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan mata secara umum atau standar pemeriksaan mata, (Sidarta, 2003) terdiri dari :  
1.    Pemeriksaan lapang pandang / campimetri / perimetri
2.    ERG : Pemeriksaan kwalitas retina
2.    Uji ketajaman penglihatan pada kedua mata dari jarak jauh (Snellen) dan jarak dekat (Jaeger)
3.    Uji pembiasan, untuk menentukan benarnya resep dokter dalam pemakaian kaca mata
4.    Uji penglihatan terhadap warna, uji ini untuk membuktikan kemungkinan ada atau tidaknya kebutaan
5.     Uji gerakan otot-otot mata
6.     Pemeriksaan celah dan bentuk tepat di retina.
7.    Mengukur tekanan cairan di dalam mata.
8.    Pemeriksaan retina

H.    Penatalaksanaan Miopia
1.    Terapi Non-Farmakologi
a.    Kacamata
b.    Lensa Kontak
Pasien miopia yang dikoreksi dengan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.00 dioptri memberikan tajam penglihatan 6/6, demikian juga bila diberi sferis -3.25 dioptri, maka sebaiknya diberikan koreksi -3.00 dioptri agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik setelah dikoreksi (Sidarta, 2007)
c.    Bedah Keratorefraktif
d.   Terapi dengan menggunakan laser dengan  atau operasi lasik mata
e.    Photorefractive Keratotomy (PRK)
f.     Operasi orthokeratologi dan pemotongan jaringan kornea mata

2.    Penatalaksanaan Farmakologi
Obat yang digunakan untuk penderita miopia adalah obat tetes mata untuk mensterilisasi kotoran yang masuk ke dalam mata

I.       Komplikasi
1.    Ablasio retina
Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0 sampai (- 4,75) D sekitar 1/6662.Sedangkan pada (- 5) sampai (-9,75) D risiko meningkat menjadi 1/1335.Lebih dari (-10) D risiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain penambahan faktor risiko pada miopia lebih rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali (Sidarta, 2003)
2.    Vitreal Liquefaction dan Detachment
Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi. Halini berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya akan menimbulkan risiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata (Sidarta, 2003)
3.    Miopik makulopati
Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapangan pandang berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa menyebabkan berkurangnya lapangan pandang. Miopi vaskular koroid atau degenerasi makular miopia juga merupakan konsekuensi dari degenerasi makular normal dan ini disebabkan oleh pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh di bawah sentral retina (Sidarta, 2003)
4.    Glaukoma
Risiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat penyambung pada trabekula (Sidarta, 2003).
5.    Katarak
Lensa pada miopia kehilangan transparansi. Dilaporkan bahwa pada orang dengan miopia, onset katarak muncul lebih cepat (Sidarta, 2003).

J.      Pencegahan Miopia
Sejauh ini, hal yang dilakukan adalah mencegah dari kelainan mata sejak dari anak dan menjaga jangan sampai kelainan mata menjadi parah. Biasanya dokter akan melakukan beberapa tindakan seperti pengobatan laser, obat tetes tertentu untuk membantu penglihatan, operasi, penggunaan lensa kontak dan penggunaan kacamata. Tindakan pencegahan yang lain adalah dengan cara (Rini, 2004) :
1.    Jarak baca 40 – 45 cm
2.    Aktifitas pemakaian mata jarak dekat dan jauh bergantian. Misalnya setelah membaca atau melihat gambar atau menggunakan komputer 45 menit, berhenti dahulu untuk 15 – 20 menit, beristirahat sambil melakukan aktifitas lain
3.    Gizi yang berimbang bila diperlukan sesuai aktifitas
4.    Melihat atau merasakan adanya posisi kepala miring atautorticollis terutama pada aktifitas lihat televisi atau komputer tepat waktu pemberian kaca mata
5.    Mengatur program harian anak (sekolah,ekstra kurikuler). Seharusnya diharuskan aktifitas luar misalnya kegiatan olah raga, musik dan lain-lain

K.    Diagnosa teoritis
a.    Gangguan persepsi sensori visual berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan
b.    Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
c.    Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mengenal sumber informasi
d.   Resiko infeksi berhubungan dengan proses invasif
e.    Resiko cidera berhubungan dengan penrunan ketajaman penglihatan




Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah postpartum